Jumat, 17 Agustus 2012

Paradoks Lebaran

Setiap datang bulan suci Ramadhan,muncul kegelisahan yang berulang.Kegelisahan ini berlanjut hingga Idul Fitri datang.Puasa yang sejatinya sebagai proses spiritual untuk menajamkan hati dan rasa,dalam kehidupan nyata kita,berubah menjadi perhambaan pada materi.Pusat perbelanjaan,mal,dan pasar dipenuhi orang.Hal ini mengingatkan kita pada dialog Nabi Muhammad SAW dengan Iblis terlaknat.Dalam dialog tersebut,Iblis menyebutkan 10 permintaan kepada Tuhan,yang semuanya dipenuhi sebagai bukti keadilan-Nya.Salah satunya,Iblis meminta tempat ibadah,maka Tuhan mempersilahkan Iblis dan anak cucunya untuk menggunakan pasar sebagai tempat sucinya. Aneh,di Bulan Puasa justru lebih banyak orang berjibun di pasar daripada di masjid.Makin mendekati lebaran,bukan masjid yang dipenuhi orang untuk iktikaf,melainkan pusat perbelanjaan yang makin berjubel manusia.Itulah fenomena tahunan di negeri yang warganya terkenal suka belanja.Budaya ini sudah kesohor sampai ke luar negeri,termasuk di Tanah Suci.Puasa seharusnya mengubah pola konsumsi makan,dari tiga kali sehari menjadi dua kali.Prinsip efisiensi menyertai proses tazkiyah(penyucian diri)untuk meraih derajat taqwa sebagai tujuan puasa.Prinsip inilah yang sejatinya diusung oleh Nabi yang mulia. Ketika beliau mengatakan,"Berhentilah makan sebelum kenyang",itulah prinsip efisiensi hidup seorang muslim.Dengan asupan makanan sesedekit mungkin(sekedar menopang tulang punggung dalam istilah beliau)dihasilakan amal yang sebanyak mungkin.Dalam kenyataan,ajaran beliau yang luhur itu lebih banyak dilanggar daripada ditaati.Kita lebih banyak mengumbar nafsu makan,bahkan cenderung menjadi "abdul buthun"(hamba perut) dan kerap membuang-buang makanan.Ketika lebaran datang,pemandangan yang umum di mana-mana adalah makanan dan minuman yang berlimpah.Sisa-sisa makanan berserakan.Rumah sakit,poliklinik,dan tempat praktik dokter penuh orang-orang yang mengeluh sakit perut.Keadaan ini tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW. Akibat pengamalan agama yang formalistik dan artifisial,Lebaran yang seharusnya menjadi puncak kemenengan dan kegembiraan orang-orang yang menyucikan hati,berubah menjadi ajang peluapan dendam puasa. Tidak ada lagi pengendalian diri.Karena itulah,tiap kali datang Lebaran menjadi momen untuk introspeksi.Silahturahmi tidak harus dengan jamuan makan.Tuan rumah cukup menyediakan dispenser.Hanya tamu yang ingin minum saja yang disuguhi.Suguhan pun tidak harus berupa jajanan,buah-buahan mungkin lebih menyehatkan.Selamat Berlebaran!

Selasa, 14 Agustus 2012

Taqwa, Derajat Tertinggi dari Allah

Perintah puasa semestinya membuat umat Islam tergugah untuk merenungi Ramadhan dengan serius. Dalam Surat Al Baqarah 183 Allah SWT berfirman,"Wahai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaiman diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar bertaqwa." Dari perintah ini, ada dua hal khusus yang patut menjadi perhatian. Pertama, perintah puasa tidak ditujukan secara umum, tapi khusus diwajibkan kepada orang yang beriman. Kedua, hasil akhir atau sasaran diwajibkannya puasa Ramadhan ternyata juga khusus, yakni meraih derajat taqwa. Dan taqwa merupakan derajat serta penghargaan tertinggi dari Allah kepada umat Nabi Muhammad SAW. Mengapa harus orang beriman yang diperintah berpuasa? Mengapa pula derajat taqwa bisa dipetik lewat sebuah upaya sederhana, yakni menahan lapar dan dahaga serta tidak berhububgab suami-istri dari fajar hingga matahari tenggelam? Fase paling awal untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah upaya memahami apa dan bagaimana orang beriman. Secara umum orang beriman bisa ditafsirkan dalam dua kategori. Pertama, mereka yang kemampuannya menyakini Allah, malaikat, kitab, utusan-Nya, hari akhir dan hari pembalasan, serta keyakinannya terhadap qodho dan qhadar. Kedua, mereka yang secara khusus memahami dan memantapkan keimanan untuk kemudian menyatakan, menyatukan, dan memposisikan keimanannya terhadap enam hal tadi dengan keberadaan dirinya. Keimanan yang masuk kategori pertama adalah keimanan yang masih bernuansa identifikatif. Artinya, sekedar menyerap keyakinan enam hal tadi dalam rangka mengidentifikasi keimanan tersebut menjadi sebuah pengakuan.Dalam hal ini keimanan akan lebih dipahami dalam bentuk ritual yang simbolis. Adapun mereka yang beriman dalam kategori kedua, adalah mereka yang betul-betul menyertakan dan menyerahkan keyakinannya kepada yang enam tadi. Hal itu dilakukan dengan wawasan dan pengetahuan yang luas dan mendalam. Baik lewat pemahaman dari firman Allah, hadist Rasulullah maupun yang dikaji lewat pemahaman terhadap sunatullah.Dari dua kategori orang beriman tadi, dapat kita simpulkan bahwa kategori kedua adalah mereka yang keimanannya sempurna. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Fathir 28,"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambanya hanyalah mereka yang berilmu, yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. Pengetahuan mereka terhadap kebesaran dan kekuasaan Allah inilah yang menjadikan keimanannya tidak sekedar simbolis. Namun memancar secara menyeluruh. Baik dalam hablum minallah maupun dalam konteks hablum minannas. Puasa Ramadhan dapat mengantarkan kita ke derajat taqwa bergantung pada dua hal. Pertama, bagaimana kesiapan iman kita memahami puasa. Kedua, sejauh man puasa tadi dipahami sebagai sebuah proses untuk melatih dan membekali diri menjadi makhluk yang memiliki filter pengendali diri yang baik

Minggu, 12 Agustus 2012

Ladang Pesemaian Akhirat

Kehidupan akherat pasti akan dicapai seiring perjalanan manusia hidup di dunia. Bila kontrak telah diputus oleh Sang Illahi Robbi, maka perjalanan selanjutnya adalah di alam akhirat. Tidaklah menuai hasil gemilang, ketika manusia selama hidup di dunia tidak mampu menyemai ladang-ladang dunia, berupa amal ibadah. Termasuk, ibadah di dalam bulan suci Ramadhan ini. "Pentingnya kehidupan dunia, disebabkan dunia menjadi ladang pesemaian akhirat. Addunya mazroatul akhiroh ". Karenanya perlu ikhtiar yang gigih dalam menjalani kehidupan di dunia. Dari ikhtiar itu, akan tercapai tujuan di dunia yang menjadi awal pijakan pencapaian tujuan akhirat. Namun tujuan akhirat harus diutamakan dengan meniti kehidupan dunia yang lebih baik.

Rahasia Bangun Malam

Ketika sengatan matahari yang sangat perih dirasakan, lebih-lebih oleh orang yang bergelimang dosa sampai-sampai ada diantara mereka yang keringatnya menenggelamkan badan sendiri, kemudian rasa takut menyelimuti setiap jiwa manusia, mereka saling pandang. Manusia mencari siapa yang dapat diandalkan untuk memohon kepada Allah agar situasi yang mencekam dan sengatan matahari nan perih itu dapat dielakkan. Mereka pergi kepada nabi Adam, Nuh, Ibrahim, dan Musa serta Isa. Tetapi semua nabi mulia itu menolak dan menyebut dosa masing-masing sambil berkata; " Nafsi-nafsi ( diriku sendiri, diriku sendiri ) kcuali nabi Isa yang menolak tanpa menyebut dosa. Akhirnya mereka menuju ke nabi Muhammad dan dengan singkat beliau memohon kepada Allah, " Tuhanku, umatku umatku". Hadist itu dilansir oleh Bukhari Muslim melalui Abu Hurairah tentang suasana kemelut di Padang Mahsyar. Rasulullah yang tak pernah absen bangun malam ( qiyam al lail )untuk shalat tahajud ditempatkan oleh Allah pada posisi yang sangat mulia ( maqam al mahmud ) sehingga dapat membebaskan umatnya dari penderitaan yang mencekam pada hari kebangkitan kelak. Shalat tahajud yang familier dengan sebutan qiyam al lail mempunyai relasi dengan posisi kemuliaan ( maqam al mahmud ). Ibadah ekstra ini ditawarkan Allah kepada sispa saja yang bersedia mengerjakan. Allah akan menjamin posisi mulia itu. Karena dalam ilmu ushul figh, kata " asa dalam surat al Isra' ayat 79 bagi Allah mengandung arti kepastian. Mlam terjemahan kata al lail atau lailan merupaka sebuah misteri. Dalam teks suci keagamaan dikatakan bahwa Tuhan turun ke langit dunia pada sepertiga lam terakhir. Itu adalah isyarat limpahan rahmat bagi manusia yang ingin minta sesustu, ampunan, doa atau segala kebutuhan hidup di dunia. Ketika malam, suasana mendukung kekhusukan itu, maka kehadiran limpahan rahmat Allah mudah diperoleh. Turunnya rahmat bagi Zakaria, nabi suci yang disebut oleh Alqur'an sebagai manusia lanjut usia dengan istri mandul, yang secara logika tidak mungkin mempunyai keturunan namun akhirnya dianugerahi anak, juga terjadi malam hari. Tetapi, bagi Tuhan sang pemilik kehidupan tidak ada yang mustahil. Nabi Zakaria, pemuka agama Yahudi yang dalam Perjanjian Lama disebutkan menikah dengan wanita bernama Elisabeth, selama tiga malam tidak berbicara kepada siapa pun kecuali dengan Allah hanya untuk meminta keturunan ( QS; Maryam 10 ). Pada saat kritis dan darurat itu, Tuhan tidak pernah mengecewakan hamba-Nya. Allah mengabulkan doa Zakaria denga cara yang tidak terjangkau oleh nalar manusia ( min ladunka ), yakni berupa kelahiran seorang putra bernama Yahya. Para malaikat memohon izin kepada Tuhan untuk turun ke dunia agar mereka bisa menyaksikan amalan makhluk bumi pada "malam kekuasaan" atau lailatul qadr. Hanya di bumi para malaikat menyaksikan para pendosa merintih dan menyesali kesalahan. Di langit tidak ada rintihan karena malaikat adalah makhluk yang disucikan. Malam memang misterius, kepada kita yang tertindas atau tidak, kepada kita yang pada posisi kritis atau tidak, bangun malam untuk shalat tahajud atau qiyamul lail adalah pilihan terbaik. Malam merupakan waktu yang paling dekat antara manusia dengan sang pencipta, berdialog dengan istighfar mencari solusi kehidupan dan menyatu dengan para malaikat yang disucikan. Semua itu agar kita menjadi manusia mulia yang berhati bersih ketika berhadapan dengan kaum muslimin.