REFORMASI BIROKRASI DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MAKALAH
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Reformasi Birokrasi
Dosen Pengampu :
Dr. Wijaya, S.H., M.Hum.
Dra. Aris Toening Winarni, M.Si.
Oleh :
BUDIMAN
NIM. 151003631010069
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNTAG SEMARANG
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sholawat serta
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjunan kita Nabi Muhammad
SAW, seorang reformis sejati yang menjadi pemimpin dunia membawa umat
manusia kearah yang benar dan sebagai Nabi akhir jaman, tak lupa kepada
keluarga dan sahabatnya serta kita sebagai umatnya yang selalu
mengharapkan syafaat nanti di yaumil akhir.
Berkat rahmat, karunia dan ridho-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan lancar.
Judul yang penulis ajukan adalah REFORMASI BIROKRASI DAN TATA KELOLA
PEMERINTAHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.
Makalah ini
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Reformasi Birokrasidengan
dosen pengampu Dr. Wijaya, S.H., M.Hum. dan Dra. Aris Toening Winarni, M.Si...
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan baik dari segi penulisan, bahasa maupun isinya. Hal tersebut
mengingat kepada keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis
miliki, namun penulis sangat berharap semoga makalah yang
disusun ini dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Comal , 3 November 2015
Penulis
RINGKASAN
PEMBAHASAN
REFORMASI BIROKRASI
Apa itu birokrasi ?
Pertama perlu diberikan penjelasan terhadap adanya kesalahpahaman umum bahwa
pengertian birokrasi diberikan kepada hal-hal seperti jika seorang ingin
mendapatkan informasi tertentu dikirim dari pejabat satu kepada pejabat yang
lain, tanpa mendapatkan informasi yang diinginkan. Demikian pula keharusan
pengisian formulir-formulir dalam enam lembar atau lebih. Sehingga birokrasi
dihubungkan dengan kemacetan-kemacetan administrasi atau tidak adanya
efisiensi. Padahal pengertian birokrasi yang sebenarnya bukan itu. Birokrasi
dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus
dilaksanakan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi
yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan
cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang.
Dalam suatu perumusan lain dikemukakan bahwa birokrasi adalah tipe organisasi
yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugasnya
yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan
khususnya oleh aparatur pemerintah (Tjokroamidjoyo, Bintoro, 1988).
Pada masa Orde Baru
sampai menjelang masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di Indonesia
mengalami sakit bureaumania seperti kecenderungan inefisiensi,
penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi dan nepotisme. Birokrasi dijadikan
alat status quo mengkooptasi (kerja sama) masyarakat guna mempertahankan dan
memperluas kekuasaan. Birokrasi Orde Baru dijadikan secara struktural untuk mendukung
pemenangan partai politik pemerintah. Padahal birokrasi diperlukan sebagai
aktor public services yang netral dan adil, dalam beberapa
kasus menjadi penghambat dan sumber masalah berkembangnya keadilan dan
demokrasi, sehingga terjadi diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas, program
dan dana negara.
Agar Indonesia tidak
semakin jatuh maka birokrasi Indonesia perlu melakukan reformasi secara
menyeluruh. Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoritik
dan empirik yang luas, mencakup di dalamnya penguatan masyarakat sipil (civil
society), supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan
politik yang saling terkait dan mempengaruhi. Menurut Prof. Prijono,
"Tujuan utama reformasi birokrasi yaitu menghasilkan pelayanan publik yang
responsif, tidak memihak dan profesional yang bertujuan mengurangi rendahnya
kepercayaan terhadap peran pemerintah dalam memenuhi dan melayani kepentingan
masyarakat". Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian
tak terpisahkan dalam upaya konsolidasi demokrasi kita saat ini. Reformasi
merupakan langkah-langkah perbaikan terhadap proses pembusukan politik,
termasuk buruknya kinerja birokrasi.
Dikarenakan keadaan
birokrasi Indonesia yang masih kacau balau pasca orde baru, maka diperlukan adanya
reformasi birokrasi di setiap lembaga birokrasi di Indonesia. Oleh karena itu,
kita selaku masyarakat dan warga negara perlu mengetahui apa itu reformasi
birokrasi, selain itu juga agar masyarakat dapat mengetahui seberapa efektif
reformasi birokrasi yang sudah berjalan di lembaga-lembaga birokrasi Indonesia
sampai saat ini.
Reformasi birokrasi,
adalah salah satu cara untuk membangun kepercayaan rakyat. Pengertian reformasi
birokrasi sendiri ialah, suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang
tujuannya mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang
sudah lama. Reformasi birokrasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada
proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan
sikap serta tingkah laku. Hal ini berhubungan dengan permasalahan yang
bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam negara yang
mengikuti sistem demokrasi kehadiran partai politik dalam birokrasi
pemerintahtidak bisa dihindari. Menurut teori liberal, birokrasi pemerintah itu
menjalakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan
rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan. Dengan dmikian birokrasi
pemerintah itu tidak hanya didominasi oleh pejabat-pejabat birokrasi saja yang
meniti karier di dalamnya, melainkan pula bagian-bagian lain yang ditempati
oleh pejabat-pejabat politik. Demikian pula sebaliknya di dalam birokrasi
pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai politik
saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional.
Ketika kehadiran partai
politik yang berupa pejabat-pejabat politik dalam birokrasi pemerintah tersebut
mulai timbul, maka timbul pulalah suatu pertanyaan tentang hubungan keduanya.
Pertanyaan ini sebenarnya merupakan pertanyaan klasik yang dahulu pernah di
kemukakan oleh Woodrow Wilson sebagai perwujudan dari perbedaan antara politik
dan administrasi.
Di Indonesia ketika baru
saja merdeka tahun 1945, tata kepemerintahan kita banyak diwarnai oleh
kehidupan partai politik. Tidak lama setelah Maklumat Wakil Presiden Moh. Hatta
yang dikenal dengan sebutan Maklumat X pada tanggal 16 Oktober 1945, maka
rakyat serentak mendirikan banyak partai politik mulai saat itu kabinet yang merupakan
organisasi eksekutif pemerintahan mulai dipimpin oleh partai politik. Kabinet
Presidensial yang telah ditetapan oleh UUD 1945 hanya berlaku beberapa bulan
saja dan kemudian diganti dengan Kabinet Parlementer. Kabinet Parlementer ini
diberlakukan dalam negara yang berdasarkan UUD 45 yang mengikuti Kabinet
Presidensial. Mulai saat itu kabinet dipimpin oleh orang-orang dari partai
politik. Presiden sebagai keapa negara menunjuk seorang dari partai tertentu
untuk bertindak sebagai formatur yang akan membentuk susunan kabinet. Formatur
ini yang biasanya akan menjadi Perdana Menteri yang memimpin kabinet. Semua
menteri anggota kabinet ditunjuk berdasarkan keanggotaan partai politik yang
bersedia berkoalisi dengan partainya formatur kabinet. Namun demikian, ada pula
menteri yang ditunjuk bukan karena mewakili partai politik tertentu, melainkan
karena keahlian dan kemampuan individunya. Menteri yang tidak berpartai ini
tidak banyak, dan pada umumnya menteri yang berada di kabinet adalah mereka
yang berpartai.
Kehadiran partai politik
dalam pemerintahan membawa pengaruh besar terhadap kehidupan birokrasi
pemerintah. Salah satu pengaruh itu ialah birokrasi pemerintah terkontaminasi
terhadap bermacam dan beragam perbedaan ideologi yang dibawa partai politik. Tidak
jarang terjadi bahwa suatu partai politik yang memimpin suatu kementrian untuk
sekian lama telah tertanam pengaruh partai dalam kementerian tersebut. Tidak
pula jarang terjadi suatu departemen yang menterinya dari partai tertentu, maka
struktur jabatan dan pejabat yang mendudukinya dari partai yang sama dengan
partai menterinya dari pusat sampai ke daerah. Pada waktu itu banyak dikenal
bahwa Kementerian Dalam Negeri yang menterinya dari Partai Nasional Indonesia
(PNI), maka struktur jabatan mulai dari Menteri sampai ke lurah di desa adalah
orang-prang PNI. Demikian pula Kementerian Agama yang dipimpin oleh menteri
dari NU, maka mulai dari Menteri sampai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan dijabat oleh orqang-orang partai NU.
Kehadiran partai politik
dalam pemerintahan sejak dari Kabinet Sjhrir pertama sampai dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berlangsung secara intensif. Mulai dari ketika
Presiden Soekarno kembali ke UUD 1945, Kabinet kembali ke bentuk Presidensial,
maka Kaninet tidak lagi bisa dibubarkan dan kabinet tidak bertanggung jawab
kepada presiden. Para Menteri yang ditunjuk tidak lagi membawa partai tertentu.
Ketika Presiden Soekarno
“jatuh” dan pemerintah diganti oleh pemerintah orde baru, partai politik tidak
lagi bisa berperan aktif dalam pemerintahan. Peran partai politik digantikan
oleh Golkar yang menamakan dirinya bukan partai politik. Kelembagaan birokrasi
pemerintah dipimpin dan dikuasai oleh Golkar. Pemilihan umum dilakukan setiap 5
tahun sekali dan pemenangnya adalah bukan partai politik akan tetapi Golkar.
Aneh memang, bukan partai politik tetapi ikut main politik berupa sebagai
kontestan pemilihan umum setiap 5 tahun sekali dan selalu keluar sebagai
pemenang mutlak. Dengan kemenangan pemilu tersebut maka Golkar selalu memimpin
kabinet dan pemerintahan pada umumnya. Semua Menterinya adalah orang-orang
Golkar, dan ini berlangsung cukup lama selama 32 tahun di bawah pimpinan
Presiden Soeharto.
Sekarang ketika masa
reformasi selama 4 tahun di bawah 3 Presiden tampaknya sulit untuk melakukan
perubahan sikap mental dan perilaku sistem pemerintahan birokrasi kita.
Partai-partai politik yang memerintah ribut untuk menanamkan pengaruh dan
orang-orangnya ke dalam birokrasi pemerintah. Cerita lama terulang kembali,
rama-ramai mendirikan “bangunan pengaruh” ke dalam birokrasi pemerintah sebagai
sumber kakuatan untuk menyiapkan diri memenangkan pemilu mendatang. Semua
partai politik menyadari bahwa bangunan birokrasi pemerintah itu menjulur dari
pusat pemerintahan sampai ke struktur yang paling bawah mendekati rakyat.
Bangunan seperti itu merupakan sarana yang efektif untuk mempengaruhi rakyat
agar memilih partainya. Sementara itu fasilitas yang ada di pemerintah sangat
berharga untuk tidak disia-siakan guna kemanfaatan partainya. Itulah sebabnya
rangkapan jabatan partai politik di birokrasi pemerintah sulit diberantas dan
masih dipertahankan dengan segala cara. Dalih mereka ialah, ketika pemerintahan
Golkar jabatan rangkap dan fasilitas pemerintah, mengapa setelah reformasi
sekarang ini kita tidak boleh menikmatinya. Inilah aji mumpung yang
menghinggapi mental dan akhlak para pejabat sekarang.
Makalah ini terdiri dari
beberapa pembahasan diantaranya yang menjelaskan tentang bagaimana birokrasi
pemerintahan dan partai politik berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara pada kehidupan rakyat Indonesia, membahas
birokrasi dan administrasi publik, tata kepemerintahan yang baik, membahas
tentang partai politik dan birokrasi pemerintahan Indonesia, dan menguraikan
tentang aspek kelembagaan dalam birokrasi pemerintahan sipil madaniah.
B. Rumusan
Masalah
Agar masalah yang akan
dibahasa lebih jelas dan terarah, maka perlu dirumuskan dalam bentuk perumusan
masalah yaitu :“Apakah birokrasi dan tata kelola pemerintahan Negara Republik
Indonesia telah sesuai dengan kebutuhan raknyatnya?”
C. Pembatasan
Masalah
Bila ditinjau dari segi
rumusan masalah, kiranya masalah tersebut masih terlalu luas untuk dibahas,
maka perlu dibatasi melalui pembatasan masalah, yaitu sebagai berikut :
1. Pengertian
Birokrasi dan Reformasi Birokrasi dalam sebuah Pemerintah
2. Tujuan
Reformasi Birokrasi
3. Strategi
Terwujudnya Reformasi Birokrasi
4. Pengertian
Tata Pemerintahan yang Baik (good governance)
D. Tujuan
Penulisan
Dalam membuat makalah
ini agar lebih memahaminya penulis membuat beberapa tujuan penulisan
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Untuk Mengetahui
Pengertian Birokrasi dan Reformasi Birokrasi dalam sebuah Pemerintah
2. Untuk
Mengetahui Tujuan Reformasi Birokrasi
3. Untuk
Memahami Strategi Terwujudnya Reformasi Birokrasi
4. Untuk
Mengetahui Tata Pemerintahan yang Baik
E. Metode
Penulisan
Metode penulisan makalah ini
merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penyusunanmakalah
ini. Penulis menggunakan beberapa metode diantyaranya :
1. Metode tela’ah buku / studi
pustaka, yakni penulis mencari pokok bahasan dari buku sumber yang relevan
dengan pembahasan yang dikaji.
2. Internet,
yakni media jaringan komunikasi dan informasi dalam sebuah wahana
softwere (web)yang terdapat dalam aplikasi komputer.
F. Manfaat
Penulisan
Adapun manfaat dari
pembuatan makalah ini diantaranya sebagai berikut :
1. Kita
dapat Mengetahui Pengertian Birokrasi dan Reformasi Birokrasi dalam sebuah
Pemerintah
2. Kita
dapat Mengetahui Tujuan Reformasi Birokrasi
3. Kita
dapat Memahami Strategi Terwujudnya Reformasi Birokrasi
4. Kita
dapat Mengetahui Tata Pemerintahan yang Baik
BAB
II
KAJIAN
TEORITIS
Apa itu birokrasi ?
Pertama perlu diberikan penjelasan terhadap adanya kesalahpahaman umum bahwa
pengertian birokrasi diberikan kepada hal-hal seperti jika seorang ingin
mendapatkan informasi tertentu dikirim dari pejabat satu kepada pejabat yang
lain, tanpa mendapatkan informasi yang diinginkan. Demikian pula keharusan
pengisian formulir-formulir dalam enam lembar atau lebih. Sehingga birokrasi
dihubungkan dengan kemacetan-kemacetan administrasi atau tidak adanya
efisiensi. Padahal pengertian birokrasi yang sebenarnya bukan itu. Birokrasi
dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus
dilaksanakan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi
yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan
cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang.
Dalam suatu perumusan lain dikemukakan bahwa birokrasi adalah tipe organisasi
yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugasnya
yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan
khususnya oleh aparatur pemerintah (Tjokroamidjoyo, Bintoro, 1988).
1.
Birokrasi Menurut Beberapa Pakar :
1.1. Max Weber
Pada dasarnya, Max Weber
tidak pernah secara definitif menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut
begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat
pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial.
Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi
yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.
Birokrasi tersebut
dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang
mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak
pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal.
Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang
seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi. Weber terkenal dengan
konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah
otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu :
a. Tugas-tugas
pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
b. Tugas-tugas
tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya,
yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;
c. Jabatan-jabatan
tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan
pengaduan (complaint);
d. Aturan-aturan
yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal.
Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan;
e. Anggota
sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi;
f. Pemegang
jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
g. Administrasi
didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan
kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan
h. Sistem-sistem
otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk
aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi
birokratik.Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi,
maka birokrasi tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional.
Selanjutnya, Weber
melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional. Bagi
Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah sebagai
berikut :
a. Para
anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan
tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
b. Terdapat
girarki jabatan yang jelas;
c. Fungsi-fungsi
jabatan ditentukan secara tegas;
d. Para
pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
e. Para
pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada
suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
f. Para
pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji
bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu
menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat
diberhentikan;
g. Pos
jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
h. Suatu
struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian
(merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
i. Pejabat
sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber
yang tersedia di pos terbut, dan;
j. Pejabat
tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam
Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem
kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat)mempraktekkan kontrol
atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada
aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem
legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat
disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan
jelas penjelasan sebab-akibatnya.Khususnya, Weber memperhatikan fenomena
kontrol superordinat atas subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan
pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat.
Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai
keinginan pemimpin belaka.
Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas
setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut
:
a. Kolegialitas.
Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan
orang lain dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam
birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip
kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.
b. Pemisahan
Kekuasaan.
Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung
jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk
menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan
Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat
membatasi akumulasi kekuasaan.
c. Administrasi
Amatir.
Administrasi amatir dibutuhkan tatkala
pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi,
dapat saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut.
Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat
suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan
diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi selama pelaksanaan
tugas tersebut.
d. Demokrasi
Langsung.
Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggung
jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan
prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and
proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa
bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.
e. Representasi.
Representasi didasarkan pengertian seorang
pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi,
partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf
birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai
politik mewakili rakyat pemilih mereka.Hingga kini, pengertian orang mengenai
birokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan
modifikasi dan penolakan di sana-sini atas pandangan Weber, analisis birokrasi
mereka lakukan.
1.2. Martin Albrow
Martin Albrow adalah
sosiolog dari Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan para ahli seputar
konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan beberapa konsepsinya
seputar birokrasi.Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh
cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa guna menganalisis fenomena
birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern.
Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :
a. Birokrasi
sebagai organisasi rasional
Birokrasi
sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman Weber.
Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur secara
pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti
menurut hipotesis yang diangkat.
Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan
efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi juga mengacu pada mode
pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam
organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada
susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuan-tujuan
organisasi.
Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi
sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi
yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan
mereka.”
b. Birokrasi
sebagai Inefesiensi Organisasi
Birokrasi
merupakan antitesis (perlawanan) dari vitalitas administratif dan kretivitas
manajerianl. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi kelembagaan
yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain itu,
birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi dalam
organisasi-organisasi besar.Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan
yang dibuat sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai
urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi
usaha, dan departementalisme. Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak
dapat memperbaiki perilakunya dengan cara belajar dari kesalahannya.
Aturan-aturan di dalam birokrasi cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan
diri sendiri.
c. Birokrasi
sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
Birokrasi
merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang profesional. Atau,
birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat
memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan sesuatu. Juga, seringkali
dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat.
d. Birokrasi
sebagai administrasi negara (publik)
Birokrasi
merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun
publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi merupakan sistem
administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan jasa dalam suatu
pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan.
e. Birokrasi
sebagai administrasi yang dijalankan pejabat.
Birokrasi
dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf
administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting.
Staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang
disebut birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai
administrasi.
f. Birokrasi
sebagai suatu organisasi
Birokrasi
merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern. Suatu organisasi
dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang sudah disebut
g. Birokrasi
sebagai masyarakat modern
Birokrasi
sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana masyarakat tunduk
kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak
dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara.
Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua tipe birokrasi
tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan modern.
2. Reformasi Birokrasi
Birokrasi dapat memicu
pemberdayaan masyarakat, dan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat tanpa
diskriminasi. Birokrasi demikian dapat terwujud apabila terbentuk suatu sistem
di mana terjadi mekanisme Birokrasi yang efisien dan efektif dengan menjaga
sinergi yang konstiruktif di antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat.
Saat ini posisi,
wewenang dan peranan Birokrasi masih sangat kuat, baik dalam mobilisasi sumber
daya pembangunan, perencanaan, maupun pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan
yang masih terkesan sentralistik. Di samping itu, kepekaan Birokrasi untuk
mengantisipasi tuntutan perkembangan masyarakat mengenai perkembangan ekonomi,
sosial dan politik sangat kurang sehingga kedudukan birokrasi yang seharusnya
sebagai pelayan masyarakat cenderung bersifatvertical top down daripada horizontal
partisipative.
Birokrasi yang terjadi
di Indonesia saat ini masih belum efisien, yang antara lain ditandai dengan
adanya tumpang tindih kegiatan antar instansi, struktur, norma, nilai,dan
regulasi yang ada juga masih berorientasi pada kekuasaan, budaya birokrasi yang
masih bersifat “dilayani” daripada “melayani”, dan juga banyaknya posisi-posisi
terpenting dalam lembaga birokrasi kita yang tidak diisi oleh orang-orang yang
berkompeten. Padahal, birokrasi pada suatu negara merupakan suatu lembaga
penting yang merupakan alat negara dalam melayani masyarakat. Oleh karena itu,
suatu perubahan pada birokrasi kita harus dilaksanakan, atau biasa yang dikenal
dengan reformasi birokrasi.
Reformasi birokrasi,
adalah salah satu cara untuk membangun kepercayaan rakyat. Pengertian reformasi
birokrasi sendiri ialah, suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang
tujuannya mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang
sudah lama. Reformasi birokrasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada
proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan
sikap serta tingkah laku. Hal ini berhubungan dengan permasalahan yang
bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).
Menurut Prof. Eko
Prasojo, guru besar sekaligus ahli administrasi negara dari FISIP UI, untuk
terwujudnya reformasi birokrasi, maka diperlukan strategi-strategi reformasi
birokrasi, yaitu :
1.
Level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang mendorong Birokrasi
yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian hukum, batas
waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan, gugatan).
2. Level
organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis
kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan
masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan
Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
3. Level
operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality
meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan
emphaty.
4. Instansi
Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan
melakukan perbaikan.
Selain memerlukan strategi-strategi, dipelukan
pula tahapan-tahapan reformasi birokrasi, yaitu meningkatkan pelayanan publik
guna mendapatkan kembali kepercayaan rakyat, pelayanan publik yang berorientasi
pada pemberdayaan masyarakat, serta perbaikan tingkat kesejahteraan pegawai.
Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak
mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Secara
nyata, perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan
berkelanjutan. Beberapa poin berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu
ditempuh untuk menuju reformasi birokrasi.
1.1. Langkah internal
a. Meluruskan
orientasi
Reformasi birokrasi harus berorientasi pada
demokratisasi dan bukan pada kekuasaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada
amanah rakyat karena reformasi birokrasi harus bermuara pada pelayanan
masyarakat.
b. Memperkuat
komitmen
Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan.
Ini prasyarat penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat
untuk berubah maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk
memperkuat tekad perubahan di kalangan birokrat perlu ada stimulus, seperti
peningkatan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak memberikan ampun
bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.
c. Membangun
kultur baru
Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi
negatif seperti mekanisme dan prosedur kerja berbelit -belit dan penyalahgunaan
status perlu diubah. Sebagai gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika
birokrasi dengan konsep transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode
etiknya.
d. Rasionalisasi
Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk
dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting
dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan
permasalahan serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi
di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi informasi.
e. Memperkuat
payung hukum
Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan
aturan hukum yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam
menjalankan perubahan- perubahan .
f. Peningkatan
kualitas Sumber Daya Manusia
Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan
memberikan hasil yang optimal tanpa disertai sumber daya manusia yang handal
dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan sumber daya manusia (SDM)
yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem
penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan.
1.2. Langkah eksternal
a. Komitmen dan keteladanan elit
politik
Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar
karena menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi buruk untuk kurun
yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi
baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang
kuat berarti hadirnya pemimpinpemimpin yang berani dan tegas dalam membuat
keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada
bawahan dan masyarakat.
b. Pengawasan
masyarakat
Reformasi birokrasi akan berdampak langsung pada
masyarakat, karena peranbirokrasi yang utama adalah memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Pada tataran ini masyarakat dapat dilibatkan untuk mengawasi
kinerja birokrasi.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Birokrasi dan Reformasi Birokrasi dalam sebuah Pemerintahan
Dalam proses kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita sering medengar istilah
“birokrasi”, terutama dalam membahas soal pemerintahan dan negara. Terdapat
beberapa definisi mengenai makna dari kata birokrasi, diantaranya :
1. Menurut
Tjokroamidjoyo birokrasi adalah tipe organisasi yang
dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugasnya yang
bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya
oleh aparatur pemerintah.
2. Menurut
Max Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin(superordinat) mempraktekkan
kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan
pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai
sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan
dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari,
dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.
Menurut teori liberal
bahwa birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang
mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam
pemilihan.Dengan demikian, maka birokrasi pemerintah itu bukan hanya didominasi
oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki
oleh pejabat politik (Carino, 1994). Demikian pula sebaliknya bahwa
di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pemimpin politik
saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional.
Pada masa Orde Baru
sampai menjelang masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di Indonesia
mengalami sakit bureaumania seperti kecenderungan inefisiensi,
penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi dan nepotisme. Birokrasi dijadikan
alat status quo mengkooptasi (kerja sama) masyarakat guna mempertahankan dan
memperluas kekuasaan. Birokrasi Orde Baru dijadikan secara struktural untuk
mendukung pemenangan partai politik pemerintah. Padahal birokrasi diperlukan
sebagai aktor public services yang netral dan adil, dalam
beberapa kasus menjadi penghambat dan sumber masalah berkembangnya keadilan dan
demokrasi, sehingga terjadi diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas, program
dan dana negara.
Agar Indonesia tidak
semakin jatuh maka birokrasi Indonesia perlu melakukan reformasi secara
menyeluruh. Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoritik
dan empirik yang luas, mencakup di dalamnya penguatan masyarakat sipil (civil
society), supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan
politik yang saling terkait dan mempengaruhi. Menurut Prof. Prijono,
"Tujuan utama reformasi birokrasi yaitu menghasilkan pelayanan publik yang
responsif, tidak memihak dan profesional yang bertujuan mengurangi rendahnya
kepercayaan terhadap peran pemerintah dalam memenuhi dan melayani kepentingan
masyarakat". Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian
tak terpisahkan dalam upaya konsolidasi demokrasi kita saat ini. Reformasi
merupakan langkah-langkah perbaikan terhadap proses pembusukan politik,
termasuk buruknya kinerja birokrasi.
Dikarenakan keadaan
birokrasi Indonesia yang masih kacau balau pasca orde baru, maka diperlukan
adanya reformasi birokrasi di setiap lembaga birokrasi di Indonesia. Oleh
karena itu, kita selaku masyarakat dan warga negara perlu mengetahui apa itu
reformasi birokrasi, selain itu juga agar masyarakat dapat mengetahui seberapa
efektif reformasi birokrasi yang sudah berjalan di lembaga-lembaga birokrasi
Indonesia sampai saat ini.
Reformasi birokrasi, adalah
salah satu cara untuk membangun kepercayaan rakyat. Pengertian reformasi
birokrasi sendiri ialah, suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang
tujuannya mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang
sudah lama. Reformasi birokrasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada
proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan
sikap serta tingkah laku. Hal ini berhubungan dengan permasalahan yang
bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).
B. Tujuan
Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi
bertujuan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, dengan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga bisa memberikan
kesejahteraan dan rasa keadilan pada masyarakat banyak. Di sisi lain
birokrasi sangat sarat dengan banyak tugas dan fungsi, karena tidak saja
hanya terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga bertugas dan berfungsi
sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan. Proses reformasi yang
harus dilakukan birokrasi nampaknya bukan hal yang mudah karena harus
memformat ulang dengan penuh kritik dan tindakan korektif struktur dan
konfigurasi birokrasi itu dari yang serba sakral feodal ke serba rasional
dan profesional. Proses reformasi dari berfikir nuansa serba priyayi (ambtenaar) ke
arah birokrasi dengan konfigurasi otoritas yang rasional, yang dalam
tataran empirik dari budaya minta dilayani menjadi budaya melayani sebagai
abdi masyarakat (publicservice). Menurut konsep birokrasi
Weberian bahwa kekuasaan ada pada setiap hirearki jabatan. Semakin tinggi
hirearki tersebut semakin tinggi kekuasaannya. Demikian sebaliknya
semakin rendah hirearkinya akan semakin rendah pula kekuasaannya. Rakyat
adalah paling rendahhirearkinya sehingga ia tidak mempunyai kekuasaan apapun.
Disiplin birokrasi model
Weber menyatakan bahwa hirearki bawah tidak boleh berani atau tidak boleh
melawan kekuasaan hirearki atas (dalam Thoha, 1999). Tugas utama
pemerintah terhadap rakyatnya adalah memberikan pelayanan dalam rangka
memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat. Demikan pentingnya
pelayanan publik oleh pemerintah ini sehingga sering dijadikan tolok ukur
keberhasilan suatu rezim pemerintah, terlebih sekarang
ketika paradigma Good Governance (kepemerintahan yang
baik) dikedepankan dimana akuntabilitas, efektivitas dan efesiensi
dijadikan tolok ukur dalam pelayanan sektor publik.
Telah disampaikan pula
pada pembahasan sebelumnya di atas, bahwa tujuan dari reformasi birokrasi
menurut Prof. Prijono, "Tujuan utama reformasi birokrasi yaitu
menghasilkan pelayanan publik yang responsif, tidak memihak dan profesional
yang bertujuan mengurangi rendahnya kepercayaan terhadap peran pemerintah dalam
memenuhi dan melayani kepentingan masyarakat".
Secara umum bahwa tujuan
dari reformasi birokrasi itu sendiri adalah untuk merubah tatanan, sistem,
tingkah laku dan arah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
sebagai penyelenggara negara, yang pada mulanya terkesan bahkan terasa
otoriter, penuh dengan KKN diubah kedalam keadaan birokrasi yang bersih dan
netral. Oleh karena itu lembaga Eksekutif yang berperan sebagai pelaksana
aturan-aturan yang telah dibuat olehnya (lembaga Eksekutif itu sendiri ata
persetujuan Legislatif) serta lembaga-lembaga tinggi negara lainnya yang
berwenang untuk membuat kebijakan / peraturan. Harus dapat mengkordinir
perangkat-perangkat birokrasi yang bersih (bebas kolusi, korupsi dan nepotisme)
yang berpihak kepada kepentingan rakyat.
C. Strategi
Terwujudnya Reformasi Birokrasi
Menurut Prof. Eko
Prasojo, guru besar sekaligus ahli administrasi negara dari FISIP UI, untuk
terwujudnya reformasi birokrasi, maka diperlukan strategi-strategi reformasi
birokrasi, yaitu :
1.
Level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang mendorong Birokrasi
yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian hukum, batas
waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan, gugatan).
2. Level
organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis
kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan
masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan
Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
3. Level
operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality
meliputi dimensitangibles, reliability, responsiveness, assurance dan
emphaty.
4. Instansi
Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan
melakukan perbaikan.
Selain memerlukan strategi-strategi, dipelukan
pula tahapan-tahapan reformasi birokrasi, yaitu meningkatkan pelayanan publik
guna mendapatkan kembali kepercayaan rakyat, pelayanan publik yang berorientasi
pada pemberdayaan masyarakat, serta perbaikan tingkat kesejahteraan pegawai.
D. Pengertian
Tata Pemerintahan yang Baik (GOOD GOVERNANCE)
1.1. Arti Good governance
Governance yang diterjemahkan
menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan
administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata
pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana
warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan
mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan
menjembataniperbedaan-perbedaan diantara mereka.
Definisi lain
menyebutkan governance adalah mekanisme
pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh
seckor negara dan sector non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif.
Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada
yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari
terminology governance membantah pemahaman formal tentang
bekerjanya institusiinstitusi negara. Governance mengakui
bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang
bekerja pada tingkat yang berbeda.
Meskipun mengakui ada
banyak aktor yang terlibat dalam proses sosial, governancebukanlah
sesuatu yang terjadi secara chaotic, random atau
tidak terduga. Ada aturan-aturan main yang diikuti oleh berbagai aktor
yang berbeda. Salah satu aturan main yang penting adalah adanya wewenang yang
dijalankan oleh negara. Tetapi harus diingat, dalam konsep governance wewenang
diasumsikan tidak diterapkan secara sepihak, melainkan melalui semacam
konsensus dari pelaku-pelaku yang berbeda. Oleh sebab itu, karena
melibatkan banyak pihak dan tidak bekerja berdasarkan dominasi pemerintah,
maka pelaku-pelaku diluar pemerintah harus memiliki kompetensi untuk ikut
membentuk, mengontrol, dan mematuhi wewenang yang dibentuk secara
kolektif.
Lebih lanjut, disebutkan
bahwa dalam konteks pembangunan, definisi governanceadalah
“mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial untuk tujuan
pembangunan”, sehingga good governance, dengan demikian,
“adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan social yang
substansial dan penerapannya untuk menunjang pembangunan yang stabil
dengan syarat utama efisien) dan (relatif) merata.”
Menurut dokumen United
Nations Development Program (UNDP), tata pemerintahan adalah “penggunaan
wewenang ekonomi politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan
negra pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme,
proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat
mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban
dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Membangun good
governance adalah mengubah cara kerja state,
membuat pemerintahaccountable, dan membangun pelaku-pelaku di luar
Negara cakap untuk ikut berperan membuat sistem baru yang bermanfaat
secara umum. Dalam konteks ini, tidak ada satu tujuan pembangunan yang
dapat diwujudkan dengan baik hanya dengan mengubah karakteristik dan
cara kerja institusi negara dan pemerintah. Harus kita ingat,
untuk mengakomodasi keragaman, good governance juga harus
menjangkau berbagai tingkat wilayah politik. Karena itu, membangun good
governance adalah proyek sosial yang besar. Agar realistis, usaha
tersebut harus dilakukan secara bertahap. Untuk Indonesia, fleksibilitas
dalam memahamikonsep ini diperlukan agar dapat menangani realitas yang ada.
BAB
IV
ANALISIS
Dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan
publik mencakup berbagai program pembangunan dan kebijaksanaan pemerintah.
Akan tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk
melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan
tersebut, seringkali mendapatkan kesan berbeda dari pandangan masyarakat.
Birokrasi di
dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di
dalamnyapenyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang
dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan
dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu
mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan
birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh
karena itu, untuk menanggulangi kesan buruk birokrasi yang telah ada selama
ini, perlu dilakukan beberapa perubahan sikap dan perilaku berkaitan dengan
birokrasi dan pelakunya (birokrat), antara lain seperti di bawah ini :
1. Birokrasi
harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal
pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta menghindarkan kesan pendekatan
kekuasaan dan kewenangan.
2. Birokrasi
perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi
modern, ramping, efektif, dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas
yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi
tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat).
3. Birokrasi
harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang
lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern, yaitu pelayanan
cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan
kualitas, efesiensi biaya, dan ketepatan waktu.
4. Birokrasi
harus memosisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik
alih-alih sebagai agen pembaharu (agent of change) pembangunan.
5. Birokrasi
harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang
kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang
strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel, dan responsif.
Dari pandangan tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan
pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah
satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada
tersentralisasi. Struktur yang desentralistis diharapkan akan lebih mudah
mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat,
sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang
diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam konteks persyaratan
budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat
yang benar-benar memiliki kemampuan (capability),
memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki
keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).
BAB
V
PENUTUP
Reformasi birokrasi
dibutuhkan untuk menjamin terlaksananya reformasi di bidang lain dalam
suatu pemerintahan yang mengaplikasikan konsep administrasi
pembangunan. Oleh karena
itu, tanpa mengabaikan reformasi di bidang lain rekomendasi yang pertama
harus dilakukan adalah reformasi birokrasi yang meliputi kelembagaan
dan ketatalaksanaan, sumber daya manusia, dan pengawasan dalam
melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Reformasi
kelembagaan dilakukan melalui perampingan struktur organisasi birokrasi
pemerintah di pusat dan daerah untuk menghindari tumpang tindih
pelaksanaan tugas dan fungsinya. Penyusunan organisasi yang didasarkan
pada analisis jabatan ini harus terus diupayakan. Oleh karena adanya
tuntutan yang mendesak dan harus dilakukan untuk mendorong proses
percepatan reformasi birokrasi, upaya-upaya khusus di bidang kelembagaan
adalah sebagai berikut :
1. Melakukan redefenisi kelembagaan birokrasi
termasuk melakukan penataan kelembagaan sesuai dengan standard
operating procedure atau SOP.
2. Melakukan
penerapan audit institusi.
3. Di bidang ketatalaksanaan perlu dipertimbangkan
sistem rekrutmen dan promosi pegawai sesuai dengan kecakapan dan
kemampuannya dan dapat diberhentikan jika bekerja secara buruk sebagaimana
yang berlaku di lingkungan swasta.
Selanjutnya, usaha untuk
mendorong peningkatan kompetensi aparat birokrasi pemerintah, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai wujud profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya, harus memerhatikan tiga hal pokok di bawah ini :
1. Peningkatan
kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah.
2. Peningkatan
etika dan moral birokrasi pemerintah.
3. Peningkatan
profesionalisme birokrasi pemerintah.
Reformasi Birokrasi dan
Tata Kelola Pemerintahan yang baik, dapat terwujud apabila semua lapisan
masyarakat turut berperan serta dalam upaya pemberharuan diberbagai bidang
khususnya dalam bidang pelayanan (birokrasi) pemerintah, karena birokrasi
pemerintah merupakan proses interaksi / hubungan antara pemerintah dan
masyarakat serta langkah awal dalam mencapai kemajuan suatu negara dalam
berbagai bidang.
Dan yang terakhir, untuk
mendorong perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN dapat
pula diupayakan kepada peningkatan pengawasan terhadap
aparatur negara.
Pengawasan ini dapat dilakukan melalui audit internal maupun
audit eksternal.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Daftar
Bacaan :
Thoha, Miftah. Birokrasi & Politik
di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
B. Referensi
Lain :
http://www.find-docs.com/reformasi-birokrasi-pemerintahan-indonesia.html
http://www.find-docs.com/tata-pemerintahan-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar